Yusuf Bastiar, Mahasiswa Sastra Indonesia Berhasil Meraih Juara 1 dalam Lomba Menulis Esai Nasional
Mahasiswa Sastra Indonesia Angkatan 2019, Fakultas Sastra, Budaya, dan Komunikasi Universitas Ahmad Dahlan, Yusuf Bastiar meraih Juara 1 dalam Lomba Menulis Esai Nasional. Tulisan Yusuf yang berjudul “Spiritualitas dan Etika Ilmu Pengetahuan dalam Konflik Agraria Desa Wadas” berhasil memikat perhatian dewan juri hingga menggiringnya menempati juara pertama.
Lomba yang bertajuk “Membaca Soedjatmoko” ini digagas oleh Asia Justice and Rights (AJAR) dan Future Indonesia yang merupakan bagian dari rangkaian program yang dilaksanakan bertepatan dengan peringatan hari jadi Soedjatmoko yang ke-100. Lomba esai tersebut mengusung tema pemikiran-pemikiran Soedjatmoko dan skenario untuk Indonesia di masa depan. Lebih lanjut, lomba ini dibagi menjadi lima sub-tema yakni keberagaman, pendidikan dan teknologi, agama dan ilmu pengetahuan, pembangunan berkelanjutan, serta media dan informasi.
“Pada tanggal 10 Agustus diumumkan bahwa nama saya masuk dalam 10 besar kategori mahasiswa yang lolos. Kemudian 10 besar itu dinilai lagi oleh dewan juri. Dan akhirnya pada 10 September saya dapat kabar bahwa dari 10 besar itu, nama saya disebut sebagai juara 1 lomba menulis esai nasional kategori mahasiswa,” jelas Yusuf.
Dalam tulisannya, Yusuf mengelaborasikan pemikiran-pemikiran Soedjatmoko yang sejak dulu sudah memberi peringatan bahwa dalam pembangunan nasional Indonesia, negara kita perlu menggabungkan etika spiritualitas dan ilmu pengetahuan.
Telah menjadi rahasia umum bahwa Desa Wadas ini merupakan cerminan dari konflik struktural dan tidak imbang antara warga masyarakat Wadas dengan pemerintah. “Konflik Desa Wadas dipilih karena sangat relevan dengan apa yang dikatakan oleh Soedjatmoko. Warga Wadas yang mayoritas muslim, melalui nilai-nilai keislaman, melalui etika spiritual, penambangan yang dilakukan disana hanya mengedepankan ilmu pengetahuan dimana pihak pemerintah selalu beralasan mengenai Analisis Dampak Lingkungan, dokumen-dokumen akademik, tetapi menanggalkan etika spiritual,” jelas Yusuf.
Selanjutnya, Yusuf menuturkan bahwa dalam pembangunan apapun, ilmu pengetahuan seharusnya dapat melibatkan etika spiritualitas dalam membuat satu penimbangan khusus. “Ini perlu ditimbang lagi karena sangat penting supaya pembangunan kita tidak hanya asal “membangun”, supaya pembangunan kita mengedepankan etika spiritual dan etika ilmu pengetahuan,” tambahnya.
Dalam menulis esai tersebut, ia mengaku tidak menemukan kendala yang berarti. Sebab, konflik agraria di Desa Wadas yang telah ia amati sejak lama memudahkan dirinya untuk mengelaborasi tulisannya dengan pemikiran Soedjatmoko. Dalam wawancara bersama Humas FSBK, Yusuf menuturkan ulang perkataan Soedjatmoko “Jikalau pembangunan hanya mengedepankan pengetahuan dan menanggalkan etika spiritualitas, maka yang ada hanya kekerasan, penindasan, perampasan, bahkan hal-hal yang dapat membuat trauma bagi warga.” Dan itulah yang saat ini dialami oleh warga Wadas.
Selain topik yang sudah cukup dikuasai, sering menulis di Persma POROS juga sangat membantu Yusuf dalam proses menulis esai. “Saya nulis sehari selesai. Selanjutnya, saya benahi hal-hal rancu dan argumentasi yang masih kurang logis,” jelasnya.
“Saya merasa senang ketika tulisan saya meraih Juara 1 apalagi dengan total hadiah yang besar, 10 juta. Jadi saya bisa menyenangkan hati mamakku karena beberapa bulan lalu bapakku mangkat ke surga,” tambahnya.
Prestasi gemilang Yusuf ini tak serta merta membuatnya terus menerus berbangga diri karena ia meyakini bahwa ilmu pengetahuan itu sifatnya berkembang. “Saya merasa ini bukan suatu prestasi yang harus selalu saya bangga-banggakan. Saya mesti evaluasi, belajar lagi belajar lagi supaya saya bisa berkembang. Saya akan selalu mengembangkan ilmu pengetahuanku, membaca buku, lalu pengetahuan yang saya dapat saya ikat dengan tulisan,” tutup Yusuf.