Seminar SLLiCe Sastra Inggris UAD Soroti Pengaruh Memori Traumatik dalam Pembentukan Identitas
Program Studi Sastra Inggris Fakultas Sastra, Budaya, dan Komunikasi (FSBK) Universitas Ahmad Dahlan (UAD) menyelenggarakan seminar bertajuk “Seminar on Identity and Representation: Language, Literature, and Cultural Vibrancy” pada Senin, 1 Juli 2024. Acara ini bertempat di Amphitarium Lantai 9 Gedung Utama Kampus 4 UAD dan menghadirkan Achmad Munjid, M.A., Ph.D., dosen Sastra Inggris dari Universitas Gadjah Mada, selaku pembicara utama.
Seminar ini dibuka dengan sambutan Dr. Muhammad Hafiz Kurniawan S. S., M. A., selaku Sekretaris Program Studi Sastra Inggris UAD, yang menekankan bahwa seminar ini menjadi bagian dari rangkaian SLLiCe (Seminar on Linguistics, Literature, and Culture) yang bertujuan untuk membangun dialog akademis dalam konteks budaya dan sosial.
Achmad Munjid memulai presentasinya dengan membahas bagaimana peristiwa traumatik dapat membentuk identitas seseorang. Untuk memperdalam pemahaman, ia mengulas tiga novel dari penulis pemenang Nobel Sastra: “The Bluest Eye” karya Toni Morrison, “A Pale View of Hills” karya Kazuo Ishiguro, dan “Memory of Departure” karya Abdulrazak Gurnah. Ketiga novel ini mengeksplorasi tema trauma yang mencerminkan pengalaman pribadi dan komunitas mereka terhadap peristiwa traumatik.
Memori Traumatik dan Pembentukan Identitas dalam Perspektif Sosial
Munjid menekankan bahwa identitas selalu terkait erat dengan memori dan pengalaman sosial. Identitas tidak hanya tentang pengertian diri yang statis, tetapi juga berhubungan dalam konteks hubungan dengan orang lain. Identitas sosial berfungsi sebagai pembeda antara individu dan kelompok, dan sering kali dipengaruhi oleh memori traumatik yang sulit diabaikan atau dilupakan.
Saat sesi diskusi sedang berlangsung, Munjid memberikan kutipan, “The spoken is not the said, the said is not spoken,” untuk menunjukkan bahwa bahasa yang digunakan oleh mereka yang mengalami trauma cenderung ambigu dan kontradiktif. Bahasa tersebut tidak hanya menyampaikan pesan tetapi juga dapat menyembunyikan makna di baliknya.
Sesi diskusi diakhiri dengan penjelasan bahwa diskriminasi berbasis ras, gender, atau kelas sering memperkuat trauma dan menyebabkan kebencian terhadap diri sendiri dan kolektif. Dalam konteks ini, ia menghubungkan dengan isu-isu kontemporer seperti perang yang terjadi di Gaza, di mana trauma kolektif dari pengalaman perang dan penjajahan yang membentuk identitas penduduk Israel. Ia menjelaskan bahwa identitas bersifat dinamis dan dipengaruhi oleh lingkungan sosial. Dalam kata lain, trauma dapat memiliki dampak yang luas dan kompleks. (Alisa)