Herdiyana Asmoroningtyas lahir di Sleman, 1 Juni 1999. tercacat sebagai mahasiswi di Universitas Ahmad Dahlan mengambil program studi Sastra Indonesia. Anak tunggal dari beberapa Bapak Bapak Suhermono dengan Ibu Sulistyaningsih ini mengawali karir silatnya sejak duduk di bangku sekolah pertama. Awal mula dari kecintaanya dengan dunia silat, bermula dengan pelatih silat di sekolahnya melihat postur tubuh dia yang bagus dan masuk dikelas tempur. Kalau begitu, begitu sapaanya langsung diterjunkan ke kelas prestasi.
Hatinya semakin terpaut dengan dunia saat pelatihnya selalu memotivasi dia untuk selalu berproses menjadi lebih baik. Lingkungan silat dan teman-teman yang mendukung langkah perjuangannya saat ini. Yang paling dia cintai dari dunia ini adalah proses latihan yang tidak terpuji. Di mana pun dia berlatih, latihan dan terus latihan hanya ada rasa ingin tau yang lebih untuk mendalami ilmu ini. Anda benar-benar tidak ada rasa bosan dan jenuh yang menghampiri. Yang ada hanya rasa semangat yang membara dalam raga. Bahkan dalam latihannya terkendala akan Cuaca yang tidak menentukan, jarak, waktu dan kendaraan, namun tetap semangatnya mengalahkan segalanya.
Motivasi yang mengubah dia bertahan hingga saat ini yaitu dorongan dari pelatih dan orang tua. Nya, yang menjadi anak tunggal untuk orang tuanya khawatir akan pilihannya untuk terjun di duni silat ini. Namun alasanya mampu memberikan pemahaman kepada kedua orang tuanya. Hingga akhirnya restu itu dikantonginya. Ada banyak orang yang beranggapan jika ada buang waktu dan mengeluarkan prestasi di sekolah. Namun nyatanya itu tidak terjadi pada herdiana. Cewek silat ini juga menghasilkan silat sebagai semangatnya dalam belajar. Jika dia sudah jenuh untuk belajar maka dia akan melampiaskannya pada silat. Sehingga dia akan merasa fress dan semangat untuk sekolah.
Perjuangan manis pahitnya sudah bertubi-tubi besarbesaran rasakan. … Pahitnya sudah barang tentu dia sendiri yang merasakan. Mulai dari memar yang paling ringan hingga cidera kaki di engkelnya yang paling parah. Pinggangnya yang terbanting, hingga cucuran darah dari mulutnya saat bertanding ditingkat nasional yang masih memaksakan dirinya untuk menyelasaikan pertandingan hingga akhir. Itu semua perjuangan yang abadi hingga kini, ia sudah memetik buah manis dari perjuangannya. Segudang prestasi yang sudah besar sejak SMP hingga SMA. Mulai dari tingkat kabupaten untuk mengantarkannya di tingkat nasional di UAD melalui jalur BPM SSO.
Kini nama terus bersinar dikancah Nasional. Dalam dirinya selalu cemerlang DUIT (Doa, Usaha, Ikhtiar dan Tawakal). Pesannya bahwa proses tidak pernah bisa dan jangan dulu, karena di antaranya karena kita tidak tau sebelum itu hasil gimana. Apa yang bisa dilakukan sekarang ya lakukanlah, kalau tidak sekarang kapan lagi? .itu lebih baik hanya diam. Tutup wanita berjilbab itu. (Chk).